PS (Soa) - Tepat
tanggal 01 Agustus 2019 SDK Soa akan memasuki usia satu abad. Sebuah ziarah
pendidikan yang panjang. Sekolah perdana di tanah Soa ini menyimpan banyak
kisah perjalanan maupun namanya.
Eksistensi
perjalanan sekolah ini tidak terlepas dari hadirnya gereja katolik di tanah
Soa. Semuanya bermula dari satu titik kampung yang bertuah yakni Borowa.
Kampung nun sepi kala itu tetapi menyimpan jejak sejarah yang kini hampir
dilupakan. Kenapa harus Borowa?
|
(Kampung Borowa dan Rumah Hamente Meka Wio Sola. Rumah Batu Pertama di datran Soa) |
Borowa
kala itu adalah lokus pusat pemerintah Hamente untuk dataran Soa. Alasan inilah
yang mendorong Pater Fransiscus de Lange, SVD untuk menemui Hamente Meka Wio
Sola dan meminta sebidang tanah untuk mendirikan rumah ibadat dan sekolah yang
menjadi cikal bakal kehadiran umat nasrani dan pendidikan bagi masyarakat Soa
saat itu yang seluruhnya masih kafir. Permintaan ini dikabulkan oleh Meka Wio
Sola selaku Hamente.
Tempat
ini melahirkan berbagai kisah indah bagi masyarakat Soa. Tidak menutup terdapat
pula sejarah berdarah bagi beberapa anak yang pernah mengenyam pendidikan di
tempat ini. Aktivitas pendidikan yang berbarengan dengan realitas masyarakat
kadang menciptakan situasi yang tidak kondusif serta menjadi tantangan yang
menambah buramnya bagi keaktifan murid untuk mengikuti pendidikan di tempat
ini.
Sebut saja pada tahun 1957, di suatu siang seekor
kerbau tiba-tiba menyeruduk beberapa orang dan salah satu di antaranya tewas.
Kerbau itu milik Ema Bu’u Keu Mawo. Suatu hari ia terlepas dan mulai menyerang orang.
Sasaran pertama adalah Meka Baba (Panggilan untuk ayah
dari Bapak Benyamin Parera) yang berprofesi sebagai tukang kayu yang
kemungkinan juga untuk pembangunan SR Soa dan juga tokoh yang aktif dalam
pengurusan PEMILU kala itu.
Saat
sedang menjalankan tanggung jawabnya, ia langsung diserang oleh kerbau hingga
akhirnya meninggal dunia.
Setelah itu kerbau yang sama menyerang Ue Boa Gili
yang saat itu berada di Boa Poma. Ia diseruduk oleh kerbau dan rambutnya yang
sangat panjang kala itu sempat tersangkut di tanduk kerbau. Untungnya ia bisa
diselamatkan karena riuhnya para murid yang berteriak kala itu di tempat ini.
Petaka
di atas menambah kisah buram di Borowa. Ada kisah guru yang dikejar oleh orang
tua murid yang tidak menginginkan anaknya sekolah. Selain itu, ada juga kisah
kekerasan seksual yang sempat terjadi pada salah satu murid putri kala itu
membuat beberapa orang tua yang kampung jauh dari Borowa enggan untuk mengirim
anaknya mengikuti pendidikan. Nama sekolah itu pun berubah-ubah seturut zaman.
Awalnya disebut Sekolah Roma Katolik, Sekolah Rakyat, Sekolah Satu Soa dan
kemudian menyemat Sekolah Dasar Katolik Soa hingga saat ini.
Tempatnya
pun berpindah-pindah. Dari Borowa menuju Hobokoko. Kemudian dari Hobokoko
kembali ke Borowa dan terakhir berpindah ke Mawogae hingga saat ini. Bapak
Adrianus Toi adalah salah satu ahli waris pemilik tanah Mawogae. Beliau telah
meninggal tepat pada tanggal 05 Juni 2019. Kisah perpindahan ini pun terjadi
cukup unik.
|
(Bapak Adrianus Toi (Tengah) diapit saudaranya Bapak Feliks Bay dan Anaknya Antonius Hermanus Gemu) |
Siapa sangka jika keputusan untuk membangun sekolah yang
megah berdiri di Mawogae saat ini
terjadi di sebuah Pondok milik Bapak Adi Toi.
Ceritanya bahwa setelah bergulir rencana jika sekolah
dasar katolik Soa mau dipindahkan maka Bapak Thomas Doloradho selaku ketua
Yasukda saat itu berusaha menemui Bapak Adi Toi untuk meminta tanahnya yang
akan digunakan untuk membangun tempat sekolah yang baru.
Tanpa mempersoalkan harga dan demi pengembangan
pendidikan, Bapak Adi Toi dan saudaranya Feliks Bhagi langsung menyetujui dan
rela memberikan tanahnya untuk pembangun sekolah yang ganti ruginya akan
dibicarakan kemudian. Niat baik itu akhirnya terkabul sehingga kini sekolah
bisa berdiri megah. “Hasil dari perjanjian di sebuah pondok di kawasan yang
sekarang SDK Soa berdiri,” kisah Bapak Adi.
Bapak Andreas Leo yang didaulat sebagai Kepala Sekolah
yang menggantikan Bapak Lambertus Wea pada momen pemindahan menuju Mawogae dari Borowa. Beliau mengisahkan hal ini dalam ceritanya kepada penulis. “Saya menggantikan Bapak Lambertus Wea sebagai Kepala Sekolah pada saat
masih di Borowa. Namun ketika itu pembangunan sekolah di tempat
SDK Soa saat ini sudah mulai berlangsung,” bapak Andreas memulai kisahnya.
Tahun ajaran
1996/1997 saya mulai bertugas sebagai guru wali kelas enam di SDK Soa. Tepatnya
tahun ajaran 1997/1998 saya diangkat menjadi Kepala Sekolah menggantikan Bapak
Lambertus Wea. “Saat itu proses
pendidikan masih berlangsung di Borowa,” tegasnya.
Baru pada tahun
1998/1999 sekolah ini baru pindah ke Mawogae. “Proses pemindahan berlangsung
senyap dan tidak dengan perayaan yang besar-besaran,” jelasnya. Hal ini karena
kala itu, meskipun seluruh masyarakat Seso telah sepakat dan kompak dengan
pemindahan ini namun masih ada banyak kendala dari segi administrasi. “Selain
itu proses pembayaran tanah juga belum seutuhnya lunas,” tambahnya.
Namun tantangan
itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mempertahankan eksistensi SDK Soa.
Berbagai pendekatan tetap dibuat sehingga persoalan ini tidak menyurutkan niat
untuk pencerdasan anak bangsa. Pengalaman sebagai guru memampukan Bapak Andreas
Leo melewati rintangan ini.
“Ironis juga awalnya bahwa saya menerima
kepemimpinan di sekolah ini tanpa sertifikat. Yang ada hanya gambar situasi
(peta). Itu ada diarsip. Penyerahan tidak ada. Namun penyelenggaraan ilahi
akhirnya semua proses ini berjalan baik dan sekarang kita bisa menyaksikan
momen indah SDK Soa memasuki usia satu abad,” tutupnya saat bertemu penulis.
Di
tempat yang baru masih di sekitar tempat bertuah Borowa, SR Soa sudah
bermetamorfosis nama menjadi SDK Soa. Meskipun telah ada begitu banyak
sekolah-sekolah yang hadir di Soa, namun nama Soa tetap dikenakan di sekolah
ini meskipun tempatnya sering berpindah.
“Sekolah
ini menjadi embrio awal bagi lahirnya generasi terdidik di dataran Soa ini. Ada
beberapa nama yang sempat disematkan tetapi kata “Soa” tetap ada. Ia adalah
sekolah pertama yang melahirkan sekolah-sekolah lainnya di Soa,” tegas Bapak
Lambertus Wea. Dari segi nama menunjukkan identitasnya sebagai lembaga yang
bertuah di tanah ini dan menjadi sekolah milik masyarakat seluruhnya,
tambahnya.
Di
tempat yang baru ini, Sekolah Dasar Katolik Soa memasuki sebuah proses
pendidikan yang sudah memiliki sistem pendidikan terpusat dengan sistem-sistem
kurikulum yang layaknya sekolah di belahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tahap-tahap perkembangannya di tempat ini juga didirikan Taman Kanak-kanak
Fatima Soa yang khusus mendampingi anak-anak sebelum memasuki jenjang Sekolah
Dasar.
Meskipun
mengikuti program pendidikan nasional namun sekolah ini tetap berada di bawah
asuhan Yayasan Sekolah Umat Katolik Ngada (Yasukda). Kerja sama itu telah
dimulai sejak awal hingga pada saat sekolah ini memasuki usia satu abad.
“Kita harapkan agar kerja sama ini akan tetap
berlangsung seterusnya. Ada beberapa Sekolah yang dibangun bersama dengan SDK
Soa dan hendak memasuki usia satu abad. Tetapi ada juga yang telah ditutup dan
beberapa diantaranya telah dinegerikan. Kita bersyukur atas karunia Allah untuk
pencapaian. Sesungguhnya kesuksesan ini bukan semata-mata karya manusia semata
tetapi ada karya Tuhan di balik semua ini,” demikian sedikit kutipan yang direkam penulis dari Ketua Yasukda, Romo
Daniel Aka, Pr ketika membuka acara pertemuan dalam rangka menyiap perayaan
satu Abad SDK Soa.
Pada
perkembangan selanjutnya, SDK Soa akhirnya hanya menampung anak-anak dari
masyarakat Seso karena mulai menjamurnya lembaga tingkat sekolah dasar yang ada
hampir di semua kampung-kampung di cekungan Soa. Sejalan dengan perjalanan
waktu itu, animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak semakin tinggi.
Hingga
pada satu waktu, sekolah ini tidak mampu lagi menampung anak-anak sekolah yang
ada. Maka dipikirkan untuk memilih satu tempat baru yang lebih luas bagi SDK
Soa. Maka daerah Tangiseso tepatnya di lokasi Mowogae menjadi alternatif bagi sekolah
yang baru.
|
(Buku Karya penulis yang berisi tentang sejarah SDK Soa) |
Tempat
ini bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Seso dan juga alumni-alumni
yang pernah mengenyam pendidikan di SDK Soa sebelumnya. Dari beberapa kesaksian
para murid kalau tempat ini pernah menjadi daerah yang mereka lalui ketika bekerja
menuju kebun pramuka. Kebun Pramuka kala itu di tanah milik bapak Lambertus
Wea. Bapak Paskalis Wale mewakili kisah berladang di tempat ini.
“Dulu tempat ini dikenal sebagai jalan menuju
kebun Pramuka. Ada waktu-waktu tertentu kami semua siswa dan siswi SDK Soa diminta
untuk bekerja di kebun ini. Biasanya selepas ujian atau saat menjelang musim
penghujan. Berbagai kegiatan kami lakoni mulai dari membersihkan rumput,
membuat pagar hingga menanam tanaman baik yang umur panjang maupun umur pendek.
Biasanya bapak dan ibu guru juga hadir. Pokoknya seru.
Jalan waktu itu dari sekolah lama menuju kebun ini
hanyalah jalan setapak di mana di kiri dan kanannya didominasi oleh
rumput-rumput liar. Suatu hari saya beberapa teman iseng membuat semacam
jeratan bagi teman-teman yang lain. Selesai menyelesaikan tanggung jawab kami
membersihkan ladang, saya dengan beberapa teman berlari mendahului teman-teman
yang lain.
Kami mulai mengikat rumput-rumput liar di jalanan
setapak untuk menjebak teman-teman yang dibelakang kami. Caranya gampang,
rumput liar di samping kiri kanan jalan disatukan sehingga jika teman-teman
yang lewat nanti akan terjatuh karena tersandung. Apesnya bukan teman-teman
yang kena jeratan kala itu. Tetapi guru-guru. Salah satunya Bapak Lambertus
Wea. Bapak Lambertus sangat marah waktu itu. Lelah karena kerja ditambah dengan
ulah iseng kami membuat beliau marah.
Keesokkan harinya kami dipanggil dan dipukul oleh
Bapak Lambertus. Ketika hari ini kita berkumpul lagi di tempat ini untuk
seratus tahun usianya, saya benar-benar bersyukur. Misteri dari karya Tuhan itu
luar biasa sekali. Terima kasih Tuhan,” kisah
Bapak Paskalis Wale.
Daerah
yang sebelumnya menjadi aksi nakal-nakalan siswa kini dipikirkan menjadi lokus
lanjutan dari SDK Soa. Terpilihnya tempat ini selain karena lokasi di Borowa
sudah tidak cukup lagi untuk menampung anak-anak sekolah yang makin membludak
tetapi juga karena tempat ini sudah menjadi opsi baru bagi masyarakat Seso dari
generasi atau keluarga baru.
“Waktu itu banyak masyarakat Seso yang mulai
meninggalkan kampungnya di atas dan membangun perumahan di sekitar Tangi Seso
dan Waepana. Makanya kita putuskan memindahkan sekolah ini. Tepat pada tahun
1996 mulai dibuat fundasi pertama. Bahkan saya ingat, bak air penampungnya
dibuat pada hari Minggu,” tutur Bapak Antonius Balu salah satu tokoh
masyarakat sekaligus komite yang sangat aktif memperjuangkan dan mendukung
pemindahan ini. Selain itu perjuangan ini untuk menyelamatkan sekolah induk
Soa. “Jika tidak pindah maka akan mati,” tambahnya.
|
(Penulis saat berbincang-bincang dengan Bapak Antonius Balu) |
Karena
itu berdasarkan keputusan bersama masyarakat Seso bersama dengan tokoh-tokoh
masyarakat kala itu seperti Bapak Thomas Bay Keu, Bapak Antonius Balu, Bapak
Petrus Bay dan Bapak Fransiskus Meo Baghi maka diputuskan untuk dipindahkan
daerah Tangiseso tepatnya di lokasi Mowogae.
Tanah
itu milik Bapak
Adrianus Toi dan Feliks Bai. “Mereka menyerahkan tanah itu pada awalnya tanpa
bayaran,” tegas Bapak Yohanes Wage salah satu tokoh masyarakat Soa.
Ketika
pemindahan ke Sekolah yang baru, tempat yang lama sempat menjadi kontraversi
kepemilikan. Apakah akan tetap menjadi milik pihak yasukda atau diberikan
kembali ke masyarakat yang digadang-gadang akan dibangun Sekolah Lanjutan
Pertama (kini telah menjadi SMPN II Soa).
Romo
Piet Sepe, PR selaku Pastor Paroki kala itu menolak tanah yang telah diberikan
kepada Yasukda dikembalikan pada masyarakat. Penyerahan itu telah berlangsung
di tahun 1971. Bapak Benediktus Podhi yang kala itu menjadi anggota DPRD
berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Ia sendiri bersikukuh agar tanah itu
tetap diberikan kepada masyarakat. “Tanah di bawah (Mawogae) yang dibeli oleh
umat tetap sebagai tempat sekolah yang baru tetapi sekolahnya harus tetap bernama
SDK Soa,” jelasnya.
Pertikaian
itu akhirnya berakhir dengan damai di mana pihak Yasukda dan keempat kampung
pemilik tanah akan mendapat uang sirih pinang dari pihak SMPN II Soa. Keputusan
ini dijelaskan oleh Bapak Heribertus Rema Ngai selaku Kepala Sekolah SMPN II
kala itu secara detail.
“Penyerahan
tanah SDK Soa dialihkan untuk SMPN II terjadi pada tahun 2002. Dengan besaran
uang “sirih pinang” sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupian). Tetapi
pelunasannya baru berakhir pada tahun 2011 sekaligus penerbitan sertifikat
tanah untuk SMPN II Soa pada tahun 2013,” tegasnya.
Peruntukan
uang yang ada untuk pihak Yasukda sebesar Rp. 15.000.000 dan sisanya diberikan
kepada empat kampung yang diwakili oleh masing-masing anggota sukunya. Kampung
Sadha diwakili Bapak Petrus Baghi, Kampung Mude diwakili Bapak Thomas Toi Gili,
Kampung Tiwu diwakili Bapak Kletus Toi Gili dan Kampung Borowa diwakili Bapak
Antonius Balu.
“Pembagian
di antara kampung ditentukan sesuai dengan luas wilayahnya masing-masing dan
kebijakan penggunaan keuangan dikembalikan kepada kesepakatan anggota
masing-masing kampung. Kalau tidak salah ada yang kemudian disumbangkan lagi
untuk pembangunan sekolah SDK Soa di tempat yang baru,” tambahnya.
Membawa sekolah baru di tanah baru bukanlah sesuatu
yang mudah. Masalah seputar tanah dan juga akreditasi sekolah masih menjadi
kendala tahunan yang terus menjadi buah bibir.
Ia menerima tanggung jawab menjadi menjadi Kepala Sekolah dalam drama
kisah dengan kekalutan ini.
Tetapi langkah untuk menghantar sekolah dari zona yang
tergolong tidak aman menuju zona aman tidak pernah terhenti. “Tidak mudah
menjadi Kepala Sekolah di lembaga yang telah ada bertahun-tahun. Pastinya, ia
harus memiliki nilai lebih dibandingkan dengan yang lain. Saya harus mencapai
target itu. Meskipun saya tahu ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi lembaga yang
berada di bawah yayasan katolik notabene sering dianaktirikan,” kisahnya pada penulis.
|
(Anak-anak SDK Soa di kompleks Mawogae saat ini) |
Tetapi lelaki perawakan kecil namun tegas ini mampu
membuktikan Sekolah Dasar Katolik Soa menjadi satu-satunya lembaga yang harus
diperhitungkan. Pasalnya saat kepemimpinannya ia menyelesaikan masalah tanah
SDK Soa yang sudah bertahun-tahun belum tuntas hingga pelunasan harga tanah
pada pemiliknya.
Akhirnya sewa ganti rugi tanah ini dilaksanakan secara
tuntas dengan bayaran yang dilakukan secara bertahap. “Harganya Rp.
27.000.000,00. Dibayar secara bertahap dari swadaya masyarakat,” tegasnya.
Kebenaran ini diamini Bapak Adrianus Toi selaku pemilik tanah.
Kini pemilik Mawogae itu telah pergi, Bapak Adrianus
Toi pada tanggal 05 Juni 2019. Kita hanya bisa mengenangnya dengan menatap SDK
Soa yang tetap berdiri dan memasuki usia Satu Abad Nanti. Selamat Jalan Bapak
Adrianus Toi.