Rabu, 24 Februari 2021

“GANAS” (dan) MIDAH SANG PELACUR

 

Secara kebetulan saya mendapat kiriman lagu “Kisah Yang Hilang” karya terbaru group GANAS : Gabungan Anak Soa ketika saya sedang membaca buku MIDAH : Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang tidak pernah bertobat untuk menulis. Bahkan penjara sekalipun tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Hingga dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta toer dianugerahi pelbagai penghargaan International. Bahkan sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel sastra. Kembali pada kisah MIDAH dan lagu terbaru tentang Kisah Yang Hilang?

MIDAH dalam karya Pram tergolong novel ringan yang ditulis pada warsa 50-an dengan settingan Djakarta. Namun isinya tidak ringan. Novel yang bisa diselesaikan dalam sekejap sembari menikmati kopi dan mengisap rokok ini memiliki pesan yang sangat kompleks. Kisah ini berawal dari kehidupan MIDAH yang dilahirkan dari keluarga mapan. Mapan dalam kehidupan agama, ekonomi, social, budaya dan sisi kehidupan lainnya. Kesempurnaan itu tercakup ideal ketika MIDAH terlahir dengan kulitnya kuning, wajah bulat, senyum manis, cantik parasnya, lentik suaranya dan kuat hatinya. Buah putrid dari Hadji Abdul dan Umi Kalsum ini hanya memiliki nama pendek: MIDAH.

Namun kemapanan itu tidak bertahan  (baca abadi). Setelah MIDAH menemukan adanya yang hilang dari kehidupan yakni kasih sayang dan kebebasan.  Ketika kebebasan hilang pasti akan lahir pemberontakan,”. MIDAH terperangkap dalam jiwa pemberontakan itu. Meskipun akhirnya menikah dengan orang yang memiliki kemapanan seperti keluarganya hal itu tidak menjamin dirinya bahagia. Riak pemberontakan itu mulai terasa ketika ia meninggalkan Sang suami yang adalah pilihan sang ayah!. Dan akhirnya menemukan pilihan hidupnya menjadi “pelacur” setelah dititiplah dua bayi di bawah jantungnya oleh lelaki yang hanya menginginkan kemolekan dan kemasyuran namanya sebagai simanis bergigi emas.

Ada yang menarik ketika bergumul dengan buku Pram dan lagu terbaru GANAS : Gabungan Anak Soa. Keduanya berbicara tentang hal yang sama yakni kisah yang hilang. “Yang tersisa sekarang hanya cerita tentang kisah yang hilang,”. MIDAH kehilangan banyak banyak hal : kasih sayang yang pernah sempurna dalam kehidupannya tiba-tiab terenggut dengan kehadiran adik-adiknya. Ia terperangkap dalam ego yang berlebihan awalnya dan berusaha mencari pelampiasan dengan mencari kehidupan di luar kemapanan yang telah diperoleh. Namun itu pun tidak sempurna untuk kembali menghapus kenangan masa lalu. Ketika sudah berontak jauh, ia ingin kembali untuk menghidupkan kenangan yang lalu tetapi pada akhirnya semua tinggal kisah yang semuanya menghilang. Atau dalam bahasa GANAS : “ Ku ingin kau kembali. Kau pergi tingglkan kisah. Semua menghilang. Tinggalkan kisah. Hanya cerita. Kisah yang hilang,”.

GANAS yang merupakan kumpulan anak-anak Soa yang memilki skill di music, lukis, sastra dan potensi-potensi lainnya. Kelompok ini telah lama ada di tanah Soa. Dalam hal music mereka pernah menelorkan satu album yang berisikan lagu-lagu daerah Soa. Sebelas tahun yang lalu. Cukup lama mereka menghilang. Sebagai bagian dari kisah mereka saya maklumi kenapa kisah mereka ini hilang. Pertama, bahwa mereka terikat karena hobby. Itulah yang menyatukan mereka yang hadir dari berbagai latar belakang. Tuntutan ekonomi yang membuat mereka harus memilih meninggalkan kebersamaan ini dan focus untuk membangun ketahanan ekonomi mereka. Namun naluri music itu tidak pupus ternyata mereka punya kerinduan untuk kembali “lagu kisah yang hilang” bagian dari pemenuhan kerinduan itu. Dan di pantai indahnya Flores mereka mengelurakan semua kerinduan itu dalam alunan harmonica, petikan gitar, lukisan berwarna dan merdunya suara alam.

Kedua,GANAS sempat menghilang kurang lebih sebelas tahun karena anggotanya memiliki genre music yang berbeda.Hingga akhirnya beberapa personilnya harus bergabung dengan beberapa group music yang memiliki aliran music yang sama. Kenyataan itu sempat  teras a ketika awal-awal album perdananya keluar. Kenyataan itu akhirnya bisa disatukan hanya karena lagu. Beberapa kali berada di group ini, saya termotivasi untuk mencoba mengintegrasikan kemampuan anggota ini dalam seni suara dan rupa (lukis). Tidak mengira bahwa diskusi yang tidak resmi itu akhirnya bukan menjadi sebuah kisah yang hilang namun kisah yang menyatu. Memang terdapat target lebih besar lagi namun “hadirnya lagu ini telah menghadirkan kisah hangatnya kasih. Mengingat semua yang pernah terjadi,”.

Saya Pikir GANAS ke depan akan sama seperti MIDAH. Fokus pada lagu dengan menampilkan Flores. Meskiun alunan musiknya akan berubah-ubah tetapi kecintaan pada tanah Flores membuat mereka kembali. Mungkin inilah yang menjadi bocoran lagu berikutnya dengan judul “Flores I Am Your Son”. Entah kenapa ada pertalian antara MIDAH dan GANAS. Mencintai music yang lahir dari tanah sendiri.

Salah satu hal yang menjadi settingan Pram dalam kisah ini juga mengenai music. Puncak kebencian dan kaburnya “MIDAH” dari kehidupan keluarganya adalah ketika ayahnya menampar Midah karena jatuh cinta dengan keroncong yang kala itu dihargai sebagai lagu pemusik jalanan dan dianggap haram. Ayahnya lebih menginginkan si buah hati tertarik pada music-musik berbau Arab. Ternyata harapan itu pupus. Sebab sajian itu tak membuat MIDAH bahagia. Ia bahakan lebih tertarik pada lagu-lagu keroncong yang terkenal dengan pantun-pantun yang kadang Nampak jorok namun mewakili isi hati. MIDAH jatuh cinta pada music ini. Ia rela berjubel di jalanan dan membagikan tempat “tidurnya” dengan anak-anak jalanan yang jadi group kelompok keroncongan. Miris bagi masyarakat tetapi MIDAH punya kebenaran sendiri. Baginya lagu terindah adalah lahir dari situasi batin yang tenang.

GANAS pun demikian. Bukan mudah melahirkan music di kala dunia yang begitu sempurna dengan berbagai kemajuan. Tetapi mereka punya satu target yang dikespresikan yakni KEBEBASAN bukan pundi-pundi rupiah yang dikejar.dari hadirnya lagu ini. Mereka hanya punya keinginan untuk kembali pulang agar kebebasan berekspresi tidak jadi cerita yang hilang.

Jika di novel MIDAH, Pram ingin menegaskkan kekuatan seorang perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan . Seorang perempuan yang tidak mudah ditaklukan oleh apa pun. Tapi di sisi lain ingin memperlihatkan kebusukan kaum moralis yang hanya rajin zikir tapi miskin cita rasa kemanusiaan dan juga serakah.  GANAS pun punya cita rasa sendiri untuk dinyanyikan. Mari kembali pulang untuk hidupkan banyak kisah yang hilang.

GANAS dan MIDAH Sang Pelacur punya satu kisah yang hilang yang pasti kembali pulang untuk dihidupkan. “Ah itu music! Itu lagu! Itu keindahan. Itu kebebasan, keriangan, kebahagiaan,”.  Akhirnya menarik mendengar lagu “Kisah Yang Hilang” sambil baca buku Pramoedya Ananta Toer : MIDAH simanis bergigi emas.

Ini lagunya: 




Jumat, 12 Juni 2020

SUAMIKU POLITIKUS


"Pokoknya aku mau kamu harus tinggalkan PNS-mu. Aku tidak mau dinilai sebagai pecundang dan penjilat pemerintah," tukas suamiku setelah makan malam tadi. Saya tidak berkugam dan hanya diam sembari membereskan piring dan gelas makan kami berdua dan bergegas naik ke tempat tidur.

Malam kian larut dan aku pun tidak lekang terbui dalam mimpi tidur malam. Suamiku masih sibuk telpon dengan teman-temannya. Ya sejak menjadi ketua tim sukses dalam pilkada serentak ini, suamiku benar-benar sangat idealis dan berusaha agar menggulingkan calon petahana yang dalam pemikirannya telah menjadi momok dalam kehidupan masyarakat dan secara pribadi telah "membuang" aku untuk bertugas di tempat terpencil ini.

 "SK ini penuh intrik politik. Ia tidak ingin aku menjadi oposisi dalam kepemimpinannya. Lihat saja pembalasannya.Orang benar pasti menang," tegasnya kala itu ketika aku menerima SK pemindahan dari  Ibu kota Kabupaten menuju kampung terpencil.

Dan kini hingga akhir pilkada yang memenangkan calon petahana, suamiku tetap menilai kalau dia menjadi tumbal dari politik dan tetap menolak hasil kemenangan. Tiap malam, ia bersama tim dan orang-orang partainya terus melakukan penyusupan untuk melaksanakan gugatan. "Pokoknya saya tetap menolak menandatangani hasil rekapitulasi itu karena money politic telah terjadi di demokrasi kita ini. Proses hukum akan terus berlanjut," terdengar suara suamiku di luar sana sebelum ia masuk dan memeluk aku dalam tidurnya.

****
Malam makin jauh berjalan.Dan mataku menolak untuk terlelap. Bunyi suara binatang malam di awal musim hujan terus menjadi harmoni nyanyian gelap seakan mendesak agar mentari segera bangun. Lampu dinding semain redup seiring dengan meningginya harga minyak tanah dan menyusup minyak di tabungannya yang ku buat dari bekas kaleng susu indomilk dan sumbu dari kapas yang dipadatkan pada tangkai payung. kadang saya berpikir apa yang diperjuangkan suamiku benar.

"Kamu ingat, pada kampanye pertama dulu mereka menjanjikan akan memasang listrik hinggga ke pelosok daerah tetapi hasilnya kini hanya pepesan kosong. Bahkan untuk mencumbu dirimu, aku harus merebut dengan gelap," tegasnya.

Aku terus termenung dengan waktu malam yang makin menepi. Sebagai pegawai negeri sipil, saya juga menggugat dengan kebijakan yang kadang tidak pro rakyat. Semua itu justru terlahir ketika aku merasakan hidup di daerah pelosok ini. Sebagai Kepala Puskesmas di Desa Mae Rebho ini ada banyak hal yang aneh. Puskesmas tanpa penerangan yang cukup, air yang memadai dan petugas yang layak. Belum lagi persediaan obat-obat yang sangat minim.

Apalagi bicara soal transportasi. Kami masih mnggunakan tandu ala masa Sudirman sebagai angkot untuk orang-orang sakit yang hidup di desa pinggiran pegunungan ini.  Syukur bahwa telkomsel bisa masuk hingga di sini sehingga tiap hari masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang luar. Saking sangat aktif di FB, orang menilai aku sebagai perawat yang paling suka narsis. Padahal itu hanya salah satu cara saya membunuh kesepian. Namun meski demikian Kecamatan Mae Rebho ini sangat terkenal di Kabupatenku dalam beberapa hal.

"Pokoknya kamu harus kuat Ina. Mae Rebho itu terkenal dengan black magic. Dan lebih penting lagi, tempat ini dikenal sebagai lokus pembuangan orang-orang yang melawan pemerintah. Jangan bicara benar atau salah dalam konteks ini. Intinya kalau mau segera keluar dari sana harus patuh pada pemerintah termasuk menjilat pantat mereka," bisik Ema sahabat sekantorku dulu yang terkenal sangat kritis dalam menanggapi setiap kebijakan.

Meskipun demikian, Aku berusaha untuk menerima SK pemindahan yang terkesan tiba-tiba dan tanpa alasan mendasar. Kata-kata kepala yang diutarakan di awal penempatan seakan jadi oasis di tengah gurun kehidupanku. "Ina, rasanya berat kami harus kehilangan kamu. Tetapi ada misi besar di tempat baru ini. Masyarakat di sana membutuhkan orang seperti kamu. Keputusan ini bukan sekedar nipi kobhe tetapi melalui pertimbangan yang matang. Kamu sangat layak bertugas di sana," tukasnya.

****
Kini sudah enam tahun saya melewati waktu di tebing-tebing ngarai yang berjejer di Mae Rebho dengan pegunungan yang diselimuti pohon-pohon keramat. Narasi klasik tentang kegersangan sabana di dataran ratanya bersama orang-orang yang masih sangat kuat menghidupi  warisan primitif kini berubah menjadi rasa cinta.

Mae Rebho telah menghempaskan pandangan saya tentang mereka. Mereka bukanlah orang-orang primitif. Masyarakatnya adalah pewaris leluhur yang handal. Mereka bersahabat dengan alam. Memahami arti pekikan dari binatang-binatang liar dan mampu membahasakannya. Mereka mampu  berjalan malam bukan dengan melihat tetapi mendengar. Bukan karena buta tetapi karena alam.Hari-hari hidupku dihabiskan dengan masuk dalam kehidupan mereka. Kadang saya bukan lagi sebagai perawat di tempat ini.

Tetapi sebagai antropolog walau memang tidak sekaliber Pater  Paul Arendt. Atau segemilang kisah Wint Sargent yang nekat nikah kepala suku Dani,  Obahorok hanya untuk mengetahui berapa besar daya dorong yang memiliki banyak istri itu. "Saya sudah menikah dan suamiku seorang politikus ulung. Itu saja," titik.

Mae rebho kini telah merampas setengah hatiku. Meskipun aku tahu suamiku tetap menolak untuk terus bertahan di tempat ini. "Ini bukan surga tetapi ini tempat buangan,"berkali-kali ia berusaha menyadarkan aku ketika ku kisahkan kebahagiaanku sepulang mengunjungi masyarakat. Entah kenapa ia terus mengingatkanku. Mungkin ia mendapatkan cahaya kegembiraan dalam wajah ku. ah aku tak mau memaksanya. Entah kenapa!

Aku terus berusaha memaksa suamiku agar bisa masuk dan menghabiskan waktu dengan masyarakat di Mae Rebho ini. Tetapi ia lebih memilih menghabiskan waktunya di kota kabupaten dengan idealisme dan cita-citanya yang tinggi. Sekali seminggu ia mengunjungi aku dan menghabiskan  kebersamaan itu hanya untuk mencicipi tubuhku dengan erangan-erangan erotis dari pagi, malam hingga pagi lagi. Ketika ku ajak untuk turun kampung selalu ada alasan.

"Aku capai. aku butuh refresing dan lebih penting lagi aku tidak mau melewatkan kebersamaan kita hanya dengan orang-orang kampung," katanya sambil mengajak ku untuk bertarung di dipan-dipan yang mulai keropos ini. Ya suamiku politikus. Ia hanya memikirkan strategi untuk jadi pemenang. Andai saja ia mau ada bersama masyarakat mungkin ia akan jadi pemenang sejati bukan terus-terus jadi petarung.

Ya, Mae rebho mungkin terisolasi dan menjadi daerah buangan. Tetapi ia dibaluti dengan tanah yang mengandung emas. Namun masyarakat di sini tidak serakah. Mereka berjalan dan tinggal di atas emas. Mereka tidak mau menjualnya. Baginya tanah adalah rumahnya.

Kini, Mae Rebho menjadi buruan banyak daeng-daeng bugis. Ya bukan dagangan yang dijajakan di sana. Tetapi karena di sana bertaburan batu-batu akik yang katanya harganya telah memecahkan rekor muri.

Daeng-daeng itu telah lari bersamaan dengan datangnya orang-orang berdasi dari Jakarta dengan segembok kertas yang dicatut tandatangan kepala daerah. "Kami ini utusan bupati untuk mengeksplorasi tanah ini karena akan dibangun tambang agar bapak dan ibu-bu terutama generasi penerusnya tidak lagi primitif," tutur mereka saat bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat.

"Tidak. Ini tanah kami dan kami tidak mau merusaknya," tiba-tiba aku berteriak di antara kerumunan itu. Seluruh mata tertuju padaku. Ada mata kebencian dan lebih banyak tatapan harapan dari masyarakat Mae Rebho seakan berkisah agar aku terus maju hingga kemudian rombongan itu menghilang satu per satu dan tinggal aku bersama masyarakat.

Kini tiba-tiba namaku mencuat di media massa karena menolak pemerintah melakukan eksploitasi alam yang masih perawan di Mae Rebho. Aku dikabarkan sebagai wanita besi yang berani menolak kebijakan pemerintah. Berbagai ucapan dukungan mengalir ke hp seirama dngan ribuan caci maki dan intimidasi yang tak juga henti. Aku merasa semua peristiwa ini dipolitisasi oleh orang-orang yang berkepentingan termasuk pemerintah yang berkuasa. Tetapi lebih dari itu kini saya seakan terjaga dari tidur yang panjang kalau saya adalah istri politikus. Entah kenapa!

Kemudian terdengar bunyi ayam hutan menyambut matahari pagi dan aku terbangun serta merapikan pakaian tidurku yang sebagiannya terkulai lepas dari dipan-dipan tua.....***


Penulis: Ghostwritter
Tinggal di Soa-Ngada


Keterangan:

PNS; Pegawai Negeri Sipil
Mae Rebho: Jangan lupa (Bahasa Ngada)
Ame: Panggilan akrab untuk saudara di Ngada
Ina: Panggilan akrab untuk puteri
Daeng: Sapaan untuk penjual asal Bugis




Sabtu, 15 Februari 2020

Tentang Buku “Jalan Lain”


PS (Bajawa) - Di dalam kehidupan ini, kita seperti main catur; mereka yang dapat melihat jauh ke depan itulah yang menang. Kata-kata dari Buxton Charles; Penulis dari Britania Raya tak sengaja terlintas dalam benak saya ketika pertama kali mendengar kisah hidup perjalanan karier dari Veronika Ulle Bhoga.

Ungkapan ini sengaja saya pilih mengawali penulisan buku biografi “Jalan Lain” - Perjalanan Karier Veronika Ulle Bhoga karena 70  tahun usia Veronika bukanlah waktu yang singkat bagi seorang pribadi yang tekun untuk menjadi “the best” terbaik bagi dirinya sendiri serta kemudian menelorkan nilai-nilai terindah untuk sesama.

Narasi perjalanannya adalah serpihan-serpihan terbuang yang kemudian dikumpulkan sehingga menjadi sebuah mozaik kisah hidup menarik sejak masa kanak-kanak yang terkesan konyol, masa remaja yang diwarnai dengan petualangan sebagai perantau dan masa dewasa yang penuh dengan perjuangan meraih kesuksesan.

Bila ditarik dari awal kisahnya, akan sampai pada satu titik keyakinan jika segala hal yang dilakukannya sejak usia dini hanya untuk menjadi terdepan. Kemauan ini memaksa dirinya menekuni berbagai profesi untuk mencapai target tersebut. Siapa sangka di usia masih kecil  ia telah memaksa dirinya menjadi penjual kelapa dengan menempuh perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan hanya sekedar untuk merasakan kedukaan para sahabatnya yang datang dari kehidupan keluarga yang terbilang susah.

Sebagai putri dari seorang guru, Veronika cukup mendapat kehidupan yang mumpuni. Namun hal itu tidak membuat dirinya puas hati. Alasan ini membuat dirinya siap ketika diminta untuk melanjutkan pendidikan ke tempat jauh yakni tanah Jawa pasca menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Di balik kemauan itu sebenarnya terbersit dari sebuah mimpi yang lahir dari potret buram di sebuah buku atlas yakni menginjak kaki di pelabuhan Tanjung  Priuk dan Tanjung Perak. Jadilah dirinya seorang yang bertipikal keriting Flores namun kehidupan budaya, bahasa yang melampaui teman-temannya yang berasal dari Jawa.
(Penulis Bersama Mama Vero dan keluarganya. Foto Piko Soa)

Beruntung Vero kecil dan keluarganya dikenal Pater Hubertus Hermens, SVD mampu menemukan talenta dan mimpi tersembunyi dari sosok wanita yang multitalenta ini. Ia bisa tampil begitu feminim namun tidak dipungkiri pada titik-titik tertentu dalam durasi perjalanan simponi hidup masa kecilnya, ia bergelut dengan profesi para lelaki seperti pemain sepak bola yang handal serta menghabiskan banyak waktunya menjadi orator-orator layaknya aktivis jejaka jalanan.

(Penulis Bersama Yoseph Aryanto Ludoni, B.Sc : Dosen Undana)
Tetapi sebaliknya ia pandai melantunkan nyanyian-nyanyian syair kehidupan dan jari jemalinya pandai memainkan tuts-tuts piano yang membuai. Di balik kesibukan itu ia terus mengasah kemampuan akademinya dengan berbagai ilmu. Sejak mengenyam pendidikan dasar, Vero kecil sudah menggilai gagasan-gagasan Soekarno dengan interpretasi buta, berlanjut dengan melahap karya-karya pujangga baru dan sastrawan-satrawan besar yang pada akhirnya mendorongnya pun untuk menulis.  Karya-karya fiktifnya seperti “Telegram”, “Jasa Tua Renta”, “Belenggu” dan “Dengarlah aku, jangan Paksa aku” adalah titisan hati yang pernah mewarnai kolom-kolom media di NTT.

Kecintaan yang total pada karya sastra ini memaksa dirinya untuk bertemu dengan beberapa penulis kawakan Indonesia hanya sekedar untuk berbagi cerita. Ia bisa menikmati sepoinya inspirasi Sanusi Pane pada puisi “Candi Mendut” ketika pertama kali berada di tempat yang sama.  Vero juga berusaha merasakan deraian air mata Mochtar Lubis ketika jadi tahanan dengan mengunjungi penjara penulis kisah “Bukan Karena Aku Perempuan” itu ditahan. Bahkan dengan keyakinan penuh mengunjingi N.H. Dini untuk mencari tahu kisah metafisik di balik karya “Di Atas Perahu”.


( Baju Puti Prof. Dr. Felisianos Sanga, M.Pd : Guru Besar Undana )
Perjuangan menjadi penulis ini ditilik Vero sebagai sebuah mimpi. Ia yakin jika hidup adalah mimpi; “lavida es Sueno”.  Namun ia tidak hanya tidur untuk bermimpi. Vero selalu terjaga untuk memenuhi mimpinya. Ia adalah tipe pribadi yang menurut Richard Wheeler sebagai orang yang selalu menginginkan impiannya menjadi kenyataan dan selalu menjaga dirinya agar tidak tertidur.

Mimpi itu terbayar secara bertahap bahkan mengejutkan serta tidak terduga. Ia bukan hanya mengagumi Soekarno namun pernah tampil secara memukau dan mendengar secara langsung suara sang proklamator itu. Bahkan pernah menjalani tugas yang intens dengan salah satu putri Presiden RI itu yakni Megawati Soekarnoputri: yang juga mantan Presiden Indonesia. Jika ditanya saat ini apakah ia telah menjadi yang terbaik?

Jawaban adalah ya. Veronika Ulle Bhoga telah menjadi terbaik dan terdepan bagi dirinya sendiri.  Bahkan ia juga telah menjadi guru yang baik di mata murid, dosen yang kaliber di mata mahasiswa, instruktur Guru yang handal di karier para pahlawan tanpa tanda jasa dan Anggota DPRD Kabupaten Ngada yang vokal menyuarakan aspirasi rakyat karena Ia mempunyai JALAN LAIN.

“Jalan Lain” adalah cetusan pilihan alternatif ketika dirinya hampir gagal. Jalan lain adalah rel yang menggambarkan potret perjuangannya yang tidak kenal lelah. Ketika gagal jadi perawat, ia memilih jadi guru dan berhasil. Ketika gagal diterima di Undana, Ia memilih UT dan berhasil. Ketika tak punya kos ia memilih menjadi sopir hanya untuk bisa mendapat tumpangan. Saat tidak ada jurusan bahasa Inggris, ia memilih menjadi pengajar bahasa Bangsa.

(Bersama Mahasiswa Citra Bhakti Ngada di acara launching Buku " Jalan Lain")
“Jalan Lain”  adalah kisah nyata kehidupan karier Veronika Ulle meniti mimpi.” Jalan lain” adalah sisi lain dari kehidupan yang lebih berpusat pada karier dan profesi. “Jalan Lain” adalah seni yang dimainkan oleh Vero untuk mengubah sebuah kemungkinan menjadi peluang. Tantangan menjadi keberuntungan. Bahkan bisikan dari kerumunan banyak orang diamininya sebagai peluang. Hal ini yang pada akhirnya menghantar dirinya sebagai DPRD Kabupaten Ngada hingga saat buku ini ditulis. Semuanya karena Veronika Ulle Bhoga punya “Jalan Lain” untuk menjadi yang terdahulu.

Info untuk yang berminat terhadap buku ini
Kontak di Ibu Vero:
No Hp:  081 339 316 493
WA :  081 339 316 493



Minggu, 16 Juni 2019

Menilik Filosofi Tani dari Syair Reba Masyarakat Ngada

(Misa Syukuran Reba)

PS (Bajawa) - Acara Reba yang menjadi salah satu pesta adat terbesar di Kabupaten Ngada menampilkan dua atraksi yang memukau yakni nyanyian dan tarian. 

Acara yang biasa dilangsungkan pada akhir tahun tepatnya di Bulan Desember dan awal tahun di bulan Januari ditilik sebagai bentuk syukuran atas segala hasil panenan dan filosofi-filosofi pertanian yang harus dihidupi oleh masyarakat  dalam bersikap.

Ditilik secara etimologis, kata “reba” tidak memiliki arti dalam kehidupan masyarakat Ngada. Nama ini merujuk pada pesta itu sendiri dan nama bulan ketika pesta itu dirayakan. Pesta Reba selalu dirayakan tiap tahun dengan melewati rangkaian acara yang khidmat dan diwarnai dengan mitis magis. 

Karena akan ada konseksuensi yang membahayakan jika tidak dirayakan secara benar. Salah satunya akan membangkitkan angin topan yang bisa menjatuhkan sesuatu ke tanah terutama tanaman. Kejadian ini kerap terjadi sehingga ketika terjadi topan orang mengartikan sebagai wula reba-bulan reba. Pernyataan ini sebenarnya menunjuk pada akibat yang disebabkan oleh karena lalai merayakan pesta atau upacaranya.

Perayaan pesta reba biasanya merujuk pada dua sentral kultus yakni bulan dan matahari. Penekanan ini menunjukan kepada kita ketika pesta ini berlangsung yakni saat matahari berada pada posisi paling selatan dalam bulan Desember sampai matahari berada pada posisi paling tinggi di bulan Maret. Karena itu kelalaian pelaksanaan ini akan mengakibatkan kemarau yang panjang.

Bulan juga memainkan peranan penting sekalipun bukan peranan utama. Dalam perayaan ini orang memakai bulan sebagai pedoman untuk upacara ini yakni oleh Ke”po We’su (orang yang bertanggung jawab atas upacara reba).

Meskipun dalam tradisinya terdapat pemahaman yang berbeda mengenai tradisi ini namun ada hal unik dari semua ini yakni nyanyian yang dilantunkan dalam upacara ini.  Nyanyian itu mengisahkan tentang sejarah reba dan sosok yang menjadi sentral pujaan. Uniknya bahwa nyanyian itu dimulai dengan hasil panenan yakni “Uwi” (Ubi).

(Pendarasan nyanyian  "O Uwi")
Karena itu bila kita cermati secara baik syair-syair lagu yang dinyanyikan selama rangkaian acara reba kita akan temukan satu sosok yang diagungkan di sana. Dia adalah Sili Ana Wunga. Dari beberapa rangkaian nyanyian Su’i Uwi yang dilantunkan untuk menghadirkan arwah yang telah meninggal maka kita akan ketahui kalau Sili Ana Wunga adalah putra sulung dari Wijo dan Wajo, Teru dan Tena yang datang mengajar adat.

Uwi Go me sili Ana wunga, Wi mai nuka pera gua.Uwi go Wijo ne’e Wajo. Uwi go Teru ne’e Tena. Pu’u zili Sina One. Pita ine dabe dia.  (Ubi dari Sili Putra Sulung, yang datang mengajarkan adat. Ubi dari Wijo dan Wajo, ubi Teru dan Tena dari Cina pedalaman, mencari ibu terkasih).

Syair yang menjadi awal lagu Su’i uwi  ini menjelaskan siapa sebenarnya Sili Ana Wunga. “Uwi” selalu memainkan peranan penting pada pesta reba meskipun tanaman ini tidak mempunyai arti yang besar untuk kebanyakan orang Ngada. Padi, jagung dan beberapa jenis tanaman jewawut merupakan makanan utama. Hal itu mungkin mau menoreh sejarah masa lampau dari para leluhur bahwa ubi merupakan makanan yang paling disukai.

(Ubi dan beberapa hasil pertanian yang selalu menjadi bagian penting upacara Reba)
Sosok Sili Ana Wunga diyakini mampu membawa kemakmuran bagi masyarakat Ngada. Selain itu juga mengajar sebuah peradapan yang tidak lekang oleh waktu. Semua harapan dan ajaran itu didaraskan pada syair-syair lanjutannya yang semuanya berhubungan dengan siklus pertanian. Sebagai sosok yang diidolakan dan dianggap membawa berkah, Sili Ana Wunga dipercaya sebagai pribadi yang mampu membawa panen padi yang berlimpah ruah. Bahkan dalam bahasa yang sedikit hiperbola mampu membuat kepala orang tertunduk dan pungguk terbungkuk saat panenan:

Wi tu ne’e keke meze, wi pobha ne’e wole lewa, su’u ne’e kulu gusi, dheko ne’e wini danga, su’u wi duku ruku, dheko wi dhero dhego. (Hantarlah padi berbulir-bulir serta jagung berbuah panjang, junjunglah benih-benih yang baik, jinjinglah pula benih padi, junjung hingga kepala tertunduk-tunduk, junjung hingga pungguk terbungkuk-bungkuk).

(Makan dan minum bersama sebagai bagian dari syukuran)
Tetapi perjuangan untuk mencapai kemakmuran itu harus diwarnai dengan usaha yang tidak kunjung lelah. Bahkan nyawa jadi taruhan. Ne’e da wela. Ne’e da nawa, ne’e da su’u, ne’e da sa’a, ne’e da rebu dan ne’e da weda. ( Ada yang dibunuh, ada yang ditawan, ada yang memikul, ada yang mengangkat, ada yang merampas, ada yang merampok).

Meskipun demikian tetap harus jaga tata krama dalam kehidupan. Jangan suka memfitnah nama orang, berbicara yang tinggi-tinggi apalagi membicarakan nama orang karena itu akan menghancurkan keharmonisan. Atau dalam analogi pertanian dituturkan dalam syair-syair:

Go ngaza ngata, Ma’e ngazo-ngazo, da kedhi laga lange, kau ma’e ngazo-ngazo. La’a su wae, Toke ma’e deke. Dua lau uma, su’a ma’e deke. Da la’a laza, mae punu go ngaza ngata, woe tuku dao go azo. (Nama baik seseorang, jangan difitnah, ketika melewati batas ladang, jangan bicarakan nama orang. Ketika mengambil air jangan tegakkan bambu air, bila pergi ladang jangan tegakkan tofa, ketika berada di  perjalanan, jangan membicarakan nama orang. Jangan sampai orang menangkap mulutmu).
(Tarian kegembiraan di acara Reba)
Ketaatan pada semua ini akan membawah berkah. Sili Ana Wunga akan melindungi keutuhan masyarakat jika menuruti ajarannya dan menjadi harapan bagi mereka yang terabaikan. Miu tede ne’e kedhi, hala ne’e banga, wi bo bhila tewu taba, wi fuke bhila mulu wae. Ulu wi mae mu. Kasa wi ma’e bana. ( Lindungi mereka yang kecil, jagalah semua anak-anak, agar bertumbuh bagai tebu subur, berkembang bagai pisang di tepi sungai, kepala tidak pening dan dada tidak panas).

Itulah rangkaian pujian yang dilantunkan pada pesta Reba yang semua dianalogikan dengan nilai dari tapak-tapak pertanian.

Pemilik Tanah Mawogae Itu Telah Pergi


PS (Soa) - Tepat tanggal 01 Agustus 2019 SDK Soa akan memasuki usia satu abad. Sebuah ziarah pendidikan yang panjang. Sekolah perdana di tanah Soa ini menyimpan banyak kisah perjalanan maupun namanya.

Eksistensi perjalanan sekolah ini tidak terlepas dari hadirnya gereja katolik di tanah Soa. Semuanya bermula dari satu titik kampung yang bertuah yakni Borowa. Kampung nun sepi kala itu tetapi menyimpan jejak sejarah yang kini hampir dilupakan. Kenapa harus Borowa?

(Kampung Borowa dan Rumah  Hamente Meka Wio Sola. Rumah Batu Pertama di datran Soa)
Borowa kala itu adalah lokus pusat pemerintah Hamente untuk dataran Soa. Alasan inilah yang mendorong Pater Fransiscus de Lange, SVD untuk menemui Hamente Meka Wio Sola dan meminta sebidang tanah untuk mendirikan rumah ibadat dan sekolah yang menjadi cikal bakal kehadiran umat nasrani dan pendidikan bagi masyarakat Soa saat itu yang seluruhnya masih kafir. Permintaan ini dikabulkan oleh Meka Wio Sola selaku Hamente.

Tempat ini melahirkan berbagai kisah indah bagi masyarakat Soa. Tidak menutup terdapat pula sejarah berdarah bagi beberapa anak yang pernah mengenyam pendidikan di tempat ini. Aktivitas pendidikan yang berbarengan dengan realitas masyarakat kadang menciptakan situasi yang tidak kondusif serta menjadi tantangan yang menambah buramnya bagi keaktifan murid untuk mengikuti pendidikan di tempat ini.

Sebut saja pada tahun 1957, di suatu siang seekor kerbau tiba-tiba menyeruduk beberapa orang dan salah satu di antaranya tewas. Kerbau itu milik Ema Bu’u Keu Mawo. Suatu hari ia terlepas dan mulai menyerang orang.

Sasaran pertama adalah Meka Baba (Panggilan untuk ayah dari Bapak Benyamin Parera) yang berprofesi sebagai tukang kayu yang kemungkinan juga untuk pembangunan SR Soa dan juga tokoh yang aktif dalam pengurusan PEMILU kala itu. Saat sedang menjalankan tanggung jawabnya, ia langsung diserang oleh kerbau hingga akhirnya meninggal dunia.

Setelah itu kerbau yang sama menyerang Ue Boa Gili yang saat itu berada di Boa Poma. Ia diseruduk oleh kerbau dan rambutnya yang sangat panjang kala itu sempat tersangkut di tanduk kerbau. Untungnya ia bisa diselamatkan karena riuhnya para murid yang berteriak kala itu di tempat ini.
Petaka di atas menambah kisah buram di Borowa. Ada kisah guru yang dikejar oleh orang tua murid yang tidak menginginkan anaknya sekolah. Selain itu, ada juga kisah kekerasan seksual yang sempat terjadi pada salah satu murid putri kala itu membuat beberapa orang tua yang kampung jauh dari Borowa enggan untuk mengirim anaknya mengikuti pendidikan. Nama sekolah itu pun berubah-ubah seturut zaman. Awalnya disebut Sekolah Roma Katolik, Sekolah Rakyat, Sekolah Satu Soa dan kemudian menyemat Sekolah Dasar Katolik Soa hingga saat ini.

Tempatnya pun berpindah-pindah. Dari Borowa menuju Hobokoko. Kemudian dari Hobokoko kembali ke Borowa dan terakhir berpindah ke Mawogae hingga saat ini. Bapak Adrianus Toi adalah salah satu ahli waris pemilik tanah Mawogae. Beliau telah meninggal tepat pada tanggal 05 Juni 2019. Kisah perpindahan ini pun terjadi cukup unik.

(Bapak Adrianus Toi (Tengah) diapit saudaranya Bapak Feliks Bay dan Anaknya Antonius Hermanus Gemu
Siapa sangka jika keputusan untuk membangun sekolah yang megah berdiri di Mawogae saat ini  terjadi di sebuah Pondok milik Bapak Adi Toi.

Ceritanya bahwa setelah bergulir rencana jika sekolah dasar katolik Soa mau dipindahkan maka Bapak Thomas Doloradho selaku ketua Yasukda saat itu berusaha menemui Bapak Adi Toi untuk meminta tanahnya yang akan digunakan untuk membangun tempat sekolah yang baru.

Tanpa mempersoalkan harga dan demi pengembangan pendidikan, Bapak Adi Toi dan saudaranya Feliks Bhagi langsung menyetujui dan rela memberikan tanahnya untuk pembangun sekolah yang ganti ruginya akan dibicarakan kemudian. Niat baik itu akhirnya terkabul sehingga kini sekolah bisa berdiri megah. “Hasil dari perjanjian di sebuah pondok di kawasan yang sekarang SDK Soa berdiri,” kisah Bapak Adi.

Bapak Andreas Leo yang didaulat sebagai Kepala Sekolah yang menggantikan Bapak Lambertus Wea pada momen pemindahan menuju Mawogae dari Borowa. Beliau mengisahkan hal ini dalam ceritanya kepada penulis.Saya menggantikan Bapak Lambertus Wea sebagai Kepala Sekolah pada saat masih di Borowa. Namun ketika itu pembangunan sekolah di tempat SDK Soa saat ini sudah mulai berlangsung,” bapak Andreas memulai kisahnya.

Tahun ajaran 1996/1997 saya mulai bertugas sebagai guru wali kelas enam di SDK Soa. Tepatnya tahun ajaran 1997/1998 saya diangkat menjadi Kepala Sekolah menggantikan Bapak Lambertus Wea. “Saat itu proses pendidikan masih berlangsung di Borowa,” tegasnya.

Baru pada tahun 1998/1999 sekolah ini baru pindah ke Mawogae. “Proses pemindahan berlangsung senyap dan tidak dengan perayaan yang besar-besaran,” jelasnya. Hal ini karena kala itu, meskipun seluruh masyarakat Seso telah sepakat dan kompak dengan pemindahan ini namun masih ada banyak kendala dari segi administrasi. “Selain itu proses pembayaran tanah juga belum seutuhnya lunas,” tambahnya.

Namun tantangan itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mempertahankan eksistensi SDK Soa. Berbagai pendekatan tetap dibuat sehingga persoalan ini tidak menyurutkan niat untuk pencerdasan anak bangsa. Pengalaman sebagai guru memampukan Bapak Andreas Leo melewati rintangan ini.

 “Ironis juga awalnya bahwa saya menerima kepemimpinan di sekolah ini tanpa sertifikat. Yang ada hanya gambar situasi (peta). Itu ada diarsip. Penyerahan tidak ada. Namun penyelenggaraan ilahi akhirnya semua proses ini berjalan baik dan sekarang kita bisa menyaksikan momen indah SDK Soa memasuki usia satu abad,” tutupnya saat bertemu penulis.

Di tempat yang baru masih di sekitar tempat bertuah Borowa, SR Soa sudah bermetamorfosis nama menjadi SDK Soa. Meskipun telah ada begitu banyak sekolah-sekolah yang hadir di Soa, namun nama Soa tetap dikenakan di sekolah ini meskipun tempatnya sering berpindah.

“Sekolah ini menjadi embrio awal bagi lahirnya generasi terdidik di dataran Soa ini. Ada beberapa nama yang sempat disematkan tetapi kata “Soa” tetap ada. Ia adalah sekolah pertama yang melahirkan sekolah-sekolah lainnya di Soa,” tegas Bapak Lambertus Wea. Dari segi nama menunjukkan identitasnya sebagai lembaga yang bertuah di tanah ini dan menjadi sekolah milik masyarakat seluruhnya, tambahnya.

Di tempat yang baru ini, Sekolah Dasar Katolik Soa memasuki sebuah proses pendidikan yang sudah memiliki sistem pendidikan terpusat dengan sistem-sistem kurikulum yang layaknya sekolah di belahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahap-tahap perkembangannya di tempat ini juga didirikan Taman Kanak-kanak Fatima Soa yang khusus mendampingi anak-anak sebelum memasuki jenjang Sekolah Dasar.

Meskipun mengikuti program pendidikan nasional namun sekolah ini tetap berada di bawah asuhan Yayasan Sekolah Umat Katolik Ngada (Yasukda). Kerja sama itu telah dimulai sejak awal hingga pada saat sekolah ini memasuki usia satu abad.

“Kita harapkan agar kerja sama ini akan tetap berlangsung seterusnya. Ada beberapa Sekolah yang dibangun bersama dengan SDK Soa dan hendak memasuki usia satu abad. Tetapi ada juga yang telah ditutup dan beberapa diantaranya telah dinegerikan. Kita bersyukur atas karunia Allah untuk pencapaian. Sesungguhnya kesuksesan ini bukan semata-mata karya manusia semata tetapi ada karya Tuhan di balik semua ini,” demikian sedikit kutipan yang direkam penulis dari Ketua Yasukda, Romo Daniel Aka, Pr ketika membuka acara pertemuan dalam rangka menyiap perayaan satu Abad SDK Soa.


Pada perkembangan selanjutnya, SDK Soa akhirnya hanya menampung anak-anak dari masyarakat Seso karena mulai menjamurnya lembaga tingkat sekolah dasar yang ada hampir di semua kampung-kampung di cekungan Soa. Sejalan dengan perjalanan waktu itu, animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak semakin tinggi.

Hingga pada satu waktu, sekolah ini tidak mampu lagi menampung anak-anak sekolah yang ada. Maka dipikirkan untuk memilih satu tempat baru yang lebih luas bagi SDK Soa. Maka daerah Tangiseso tepatnya di lokasi Mowogae menjadi alternatif bagi sekolah yang baru.

(Buku Karya penulis yang berisi tentang sejarah SDK Soa)
Tempat ini bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Seso dan juga alumni-alumni yang pernah mengenyam pendidikan di SDK Soa sebelumnya. Dari beberapa kesaksian para murid kalau tempat ini pernah menjadi daerah yang mereka lalui ketika bekerja menuju kebun pramuka. Kebun Pramuka kala itu di tanah milik bapak Lambertus Wea. Bapak Paskalis Wale mewakili kisah berladang di tempat ini.

Dulu tempat ini dikenal sebagai jalan menuju kebun Pramuka. Ada waktu-waktu tertentu kami semua siswa dan siswi SDK Soa diminta untuk bekerja di kebun ini. Biasanya selepas ujian atau saat menjelang musim penghujan. Berbagai kegiatan kami lakoni mulai dari membersihkan rumput, membuat pagar hingga menanam tanaman baik yang umur panjang maupun umur pendek. Biasanya bapak dan ibu guru juga hadir. Pokoknya seru.

Jalan waktu itu dari sekolah lama menuju kebun ini hanyalah jalan setapak di mana di kiri dan kanannya didominasi oleh rumput-rumput liar. Suatu hari saya beberapa teman iseng membuat semacam jeratan bagi teman-teman yang lain. Selesai menyelesaikan tanggung jawab kami membersihkan ladang, saya dengan beberapa teman berlari mendahului teman-teman yang lain.

Kami mulai mengikat rumput-rumput liar di jalanan setapak untuk menjebak teman-teman yang dibelakang kami. Caranya gampang, rumput liar di samping kiri kanan jalan disatukan sehingga jika teman-teman yang lewat nanti akan terjatuh karena tersandung. Apesnya bukan teman-teman yang kena jeratan kala itu. Tetapi guru-guru. Salah satunya Bapak Lambertus Wea. Bapak Lambertus sangat marah waktu itu. Lelah karena kerja ditambah dengan ulah iseng kami membuat beliau marah.

Keesokkan harinya kami dipanggil dan dipukul oleh Bapak Lambertus. Ketika hari ini kita berkumpul lagi di tempat ini untuk seratus tahun usianya, saya benar-benar bersyukur. Misteri dari karya Tuhan itu luar biasa sekali. Terima kasih Tuhan,” kisah Bapak Paskalis Wale.

Daerah yang sebelumnya menjadi aksi nakal-nakalan siswa kini dipikirkan menjadi lokus lanjutan dari SDK Soa. Terpilihnya tempat ini selain karena lokasi di Borowa sudah tidak cukup lagi untuk menampung anak-anak sekolah yang makin membludak tetapi juga karena tempat ini sudah menjadi opsi baru bagi masyarakat Seso dari generasi atau keluarga baru.

Waktu itu banyak masyarakat Seso yang mulai meninggalkan kampungnya di atas dan membangun perumahan di sekitar Tangi Seso dan Waepana. Makanya kita putuskan memindahkan sekolah ini. Tepat pada tahun 1996 mulai dibuat fundasi pertama. Bahkan saya ingat, bak air penampungnya dibuat pada hari Minggu,” tutur Bapak Antonius Balu salah satu tokoh masyarakat sekaligus komite yang sangat aktif memperjuangkan dan mendukung pemindahan ini. Selain itu perjuangan ini untuk menyelamatkan sekolah induk Soa. “Jika tidak pindah maka akan mati,” tambahnya.

(Penulis saat berbincang-bincang dengan Bapak Antonius Balu)
Karena itu berdasarkan keputusan bersama masyarakat Seso bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat kala itu seperti Bapak Thomas Bay Keu, Bapak Antonius Balu, Bapak Petrus Bay dan Bapak Fransiskus Meo Baghi maka diputuskan untuk dipindahkan daerah Tangiseso tepatnya di lokasi Mowogae.

Tanah itu milik Bapak Adrianus Toi dan Feliks Bai. “Mereka menyerahkan tanah itu pada awalnya tanpa bayaran,” tegas Bapak Yohanes Wage salah satu tokoh masyarakat Soa.

Ketika pemindahan ke Sekolah yang baru, tempat yang lama sempat menjadi kontraversi kepemilikan. Apakah akan tetap menjadi milik pihak yasukda atau diberikan kembali ke masyarakat yang digadang-gadang akan dibangun Sekolah Lanjutan Pertama (kini telah menjadi SMPN II Soa).

Romo Piet Sepe, PR selaku Pastor Paroki kala itu menolak tanah yang telah diberikan kepada Yasukda dikembalikan pada masyarakat. Penyerahan itu telah berlangsung di tahun 1971. Bapak Benediktus Podhi yang kala itu menjadi anggota DPRD berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Ia sendiri bersikukuh agar tanah itu tetap diberikan kepada masyarakat. “Tanah di bawah (Mawogae) yang dibeli oleh umat tetap sebagai tempat sekolah yang baru tetapi sekolahnya harus tetap bernama SDK Soa,” jelasnya.

Pertikaian itu akhirnya berakhir dengan damai di mana pihak Yasukda dan keempat kampung pemilik tanah akan mendapat uang sirih pinang dari pihak SMPN II Soa. Keputusan ini dijelaskan oleh Bapak Heribertus Rema Ngai selaku Kepala Sekolah SMPN II kala itu secara detail.

“Penyerahan tanah SDK Soa dialihkan untuk SMPN II terjadi pada tahun 2002. Dengan besaran uang “sirih pinang” sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupian). Tetapi pelunasannya baru berakhir pada tahun 2011 sekaligus penerbitan sertifikat tanah untuk SMPN II Soa pada tahun 2013,” tegasnya.

Peruntukan uang yang ada untuk pihak Yasukda sebesar Rp. 15.000.000 dan sisanya diberikan kepada empat kampung yang diwakili oleh masing-masing anggota sukunya. Kampung Sadha diwakili Bapak Petrus Baghi, Kampung Mude diwakili Bapak Thomas Toi Gili, Kampung Tiwu diwakili Bapak Kletus Toi Gili dan Kampung Borowa diwakili Bapak Antonius Balu.

“Pembagian di antara kampung ditentukan sesuai dengan luas wilayahnya masing-masing dan kebijakan penggunaan keuangan dikembalikan kepada kesepakatan anggota masing-masing kampung. Kalau tidak salah ada yang kemudian disumbangkan lagi untuk pembangunan sekolah SDK Soa di tempat yang baru,” tambahnya.

Membawa sekolah baru di tanah baru bukanlah sesuatu yang mudah. Masalah seputar tanah dan juga akreditasi sekolah masih menjadi kendala tahunan yang terus menjadi buah bibir.  Ia menerima tanggung jawab menjadi menjadi Kepala Sekolah dalam drama kisah dengan kekalutan ini.

Tetapi langkah untuk menghantar sekolah dari zona yang tergolong tidak aman menuju zona aman tidak pernah terhenti. “Tidak mudah menjadi Kepala Sekolah di lembaga yang telah ada bertahun-tahun. Pastinya, ia harus memiliki nilai lebih dibandingkan dengan yang lain. Saya harus mencapai target itu. Meskipun saya tahu ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi lembaga yang berada di bawah yayasan katolik notabene sering dianaktirikan,” kisahnya pada penulis.

(Anak-anak SDK Soa di kompleks Mawogae saat ini)
Tetapi lelaki perawakan kecil namun tegas ini mampu membuktikan Sekolah Dasar Katolik Soa menjadi satu-satunya lembaga yang harus diperhitungkan. Pasalnya saat kepemimpinannya ia menyelesaikan masalah tanah SDK Soa yang sudah bertahun-tahun belum tuntas hingga pelunasan harga tanah pada pemiliknya.

Akhirnya sewa ganti rugi tanah ini dilaksanakan secara tuntas dengan bayaran yang dilakukan secara bertahap. “Harganya Rp. 27.000.000,00. Dibayar secara bertahap dari swadaya masyarakat,” tegasnya. Kebenaran ini diamini Bapak Adrianus Toi selaku pemilik tanah.

Kini pemilik Mawogae itu telah pergi, Bapak Adrianus Toi pada tanggal 05 Juni 2019. Kita hanya bisa mengenangnya dengan menatap SDK Soa yang tetap berdiri dan memasuki usia Satu Abad Nanti. Selamat Jalan Bapak Adrianus Toi.